Sabtu, 25 Januari 2014

BIAYA MAHAL PILKADA


BIAYA MAHAL CALON GUBERNUR


.…biaya yang harus disediakan para calon
yang berlaga di pemilihan gubernur,
Para calon gubernur setidaknya harus
mampu menyediakan dana minimal Rp 100 miliar.
(Kompas, 6 Maret 2013)

Pendahuluan
            Pernyataan di atas adalah merupakan  sebuah fakta yang berhasil di ungkap oleh Kompas.com dalam kalkulasi biaya politik, terkait majunya sejumlah pasangan bakal calon dalam pemilihan gubernur Jawa Tengah pada bulan Mei tahun 2013. Sungguh di luar dugaan jika kita mencoba menganalisis dan mencari tahu seberapa besar biaya yang di keluarkan oleh seorang kandidat PILKADA GUBERNUR. Padahal jika dilihat dari fungsi dan wewenangnya, seorang Gubernur tidak lebih dari bawahan Presiden untuk menjalankan Dekonsentrasi dan tugas pembantuan lainnya yang berada di tingkat provinsi. Dana minimal 100 Miliar adalah jumlah yang cukup fantastik, dan tidak sebanding dengan apa yang akan di capai sebagai seorang gubernur.
Pengakuan lain datang dari DPD Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) Jabar yang mengasumsikan biaya politik bagi pasangan calon Gubernur/Wakil Gubernur (cagub/cawagub) Jabar pada Pilgub 2013, bisa menembus angka Rp340 miliar. Paling tidak, pasangan calon harus mengantongi biaya sebesar Rp 175 miliar.  Sebagian besar penggunaan biaya adalah untuk biaya pembelian stiker, baliho, kaos, serta biaya operasional lainnya.
Sumber lain[1] menyebutkan bahwa Seorang gubernur terpilih pernah bercerita kepada penulis bahwa ia harus mengeluarkan dana tidak kurang dari Rp5 miliar hanya untuk membuat baliho, bendera, serta spanduk yang dipasang di berbagai sudut
kota dan desa di setiap kabupaten dan kota di provinsinya. Itu belum termasuk dana untuk mendapatkan "perahu tumpangan politik" dari partai- partai pendukung, bila yang mendukungnya adalah tujuh atau delapan partai kecil dan masingmasing meminta dana politik sebesar Rp500 juta, bisa dibayangkan berapa miliar yang harus dikeluarkan oleh sang bakal calon hanya untuk mendapatkan tumpangan politik semata. jika dijumlahkan, biaya untuk menjadi calon gubernur dan wakil gubernur tak kurang dari Rp30 miliar,sedangkan untuk calon bupati dan wali kota tak kurang dari Rp15 miliar! Angka yang sebenarnya bisa jauh lebih besar dari itu,tergantung pada luas wilayah, jumlah penduduk, dikenal atau tidaknya sang calon kepala daerah, serta berapa partai yang mendukungnya.
Jika di telisik PEMILIHAN kepala daerah (pilkada) langsung yang notabennya bertujuan agar otoritas pemerintahan di daerah ditopang oleh legitimasi yang kuat
dari rakyat  justru mendatangkan bencana. Uang di hambur-hamburkan dengan jumlah miliaran di anggap mahar politik. Hal ini mengundang banyak kritik lantaran mahalnya biaya politik yang harus ditanggung calon kepala daerah beserta pasangannya.
Sekilas gambaran di atas menunjukan bahwa masih terdapat pemahaman umum bahwa kandidat yang mengeluarkan uang paling banyak akan memiliki peluang yang lebih besar dalam menarik massa dan dapat memperoleh suara yang besar.  Dalam tulisan ini penulis akan mencoba menguraikan kenapa politik itu mahal? Dari mana sumber dana yang di dapat oleh calon gubernur, berapa besar dana yang di perlukan, hal ini akan menunjukan bahwa maraknya politik uang yang berlaku di PILKADA Gubernur di Negara kita. Di bagian penutup penulis akan memberikan sedikit gambaran mengenai agenda kedepan agar PILKADA yang meringankan dapat terwujud perlahan-laha.
Politik = Mahal di sistem Dekokrasi
politik adalah sebagai kegiatan mencari dan mempertahankan kekuasaan dalam masyarakat (Ramlan Surbakti : 1992:5). Kekuasaan politik dapat di peroleh dari besar kekayaan atau uang yang di miliki. Muncul sebuah asumsi bahwa semakin banyak  uang atau logistic yang di gunakan dalam kompetisi pemilihan jabatan politik, semakin besar peluang untuk memenangkan kompetisi tersebut.  di era demokrasi, membicarakan kenapa muncul presepsi masyarakat secara umum, bahwa politik itu mahal memiliki akar teoritiknya.
Secara konseptual, demokrasi merupakan sistem yang tepat dalam masyarakat yang kompleksitasnya terus melaju. Sejak kelahirannya, demokrasi diharapkan menjadi jalan bagi kebuntuan tata sosial feodalis. Demokrasi harus bisa memecahkan problem-problem keadilan, kebebasan, kesetaraan, dan lain-lain. Dan akhirnya, demokrasi diharapkan menjadi instrumen politik yang progresif. Tetapi harapan itu ternyata berbeda dengan kenyataannya. Konsepsi “agung” itu, dalam prosesnya, menjadi alat untuk mengelabuhi, menjadi tumpu bagi kaki-kaki borjuasi. Marx menyebut ini sebagai demokrasi borjuis.
Sejak awalnya, Marx dan Engels sudah menganalisa watak demokrasi  borjuis ini. Dalam The Origin of the Family, Engels memberikan gambaran bahwa di bawah demokrasi borjuis hak-hak warga negara ditentukan oleh kekayaan. Ini menegaskan secara eksplisit bahwa negara borjuis merupakan sebuah organisasi milik kelas yang berpunya untuk menguasai kelas yang tak berpunya.
Analisa Engels ini terjadi saat negeri ini masih hutan belantara. Namun sampai hari ini, ironisnya, demokrasi borjuis yang datang dengan maksud mendampingi modal ini terus dipuja-puja dengan riuh sorak dan gegap cinta. Dalam diskusi panjang yang tertulis di Reform or Revolution, Rosa Luxemburg memberikan gambaran yang jelas bahwa demokrasi borjuis telah memberikan sumbangan yang besar terhadap perkembangan kapitalisme. Ini artinya, ada hubungan struktural antara demokrasi borjuis dengan kapitalisme, sebuah hubungan antar kebutuhan yang tidak dapat dihindari.
Terkait dengan teori di atas, lebih lanjut Dalam tulisan Jesus S. Anam  tentang Kenapa biaya politik semakin mahal?  Di jelaskan bahwa terdapat  pertemuan titik terang dengan melihat hubungan struktural antara demokrasi borjuis dan kapitalisme. Hubungan ini menjadikan demokrasi liberal (borjuis) memiliki karakteristik tersendiri, yakni keberadaannya hanya untuk melayani proses modal, untuk kepentingan kapitalisme, dan tentunya, untuk merepresi kelas buruh dan mengelabuhi seluruh rakyat yang tak berdaya. Dengan menggunakan perspektif modal, di bawah demokrasi borjuis, politik bermakna komoditas, sesuatu yang bisa diperdagangkan. Siapa yang bisa membeli dengan harga tinggi, dialah yang akan mendapatkannya; dan siapa yang telah mendapatkannya, dialah yang berhak meraup keuntungannya, entah dengan korupsi, manipulasi anggaran, menyalahgunakan jabatan, dan lain-lain. Logikanya, dengan biaya yang mahal dalam memenangkan pertarungan politik menuju kursi kekuasaan, sangat tidak mungkin tidak berpikir untung rugi; sangat tidak mungkin kekuasaannya bertujuan untuk membangun kesejahteraan rakyat.
Dalam buku “evaluasi kritis penyelenggaraan PILKADA di Indonesia” ada penjabran menarik yang penulis kutip yakni tentang factor penyebab mahalnya ongkos calon gubernur. Ada 3 faktor : pertama, pasangan calon kepala daerah yang akan bertarung diharuskan membeli partai politik sebagai kendaraan politik. Partai politik yang akan dijadikan kendaraan dalam Pilkada mengharuskan pasangan calon untuk menyetor dana sumbanyan hingga miliaran rupiah. Dari beberpa sumber media online[2] menyebutkan “biaya mahar ke PARPOL” yang biasanya telah di tentukan oleh parpol. dalam. amanat  UU No 32 Tahun 2004 pasal 59 ayat 1 ”peserta pemilihan kepala daerah dan wakil kepala daerah adalah pasangan calon diusulkan secara berpasangan oleh partai politik atau gabungan partai politik”. Ketentuan tersebut mensyaratkan semua calon kepala daerah harus melalui partai politik. Hal inilah yang menyebabkan ongkos sewa perahu partai menjadi mahal, dan menjadi dilemma tersendiri apakah memakai partai politik dengan ongkos yang mahal ataua calon independen tetapi tidak punya mesin penggerak massa. Ini akan berpengaruh di hasil akhir kompetisi PILKADA. Bagi sebagian calon yang notabennya adalah pengusaha atau mantan pejabat, maka tidak tangung-tangung memakai kendaraan partai politik.
Kedua, model kampanye politik yang di lakukan oleh pasangan calon membutuhkan banyak  biaya. Misalnya biaya percetakan atribut kampanye seperti baliho, spanduk, poster, kaos ataupun biaya iklan di media massa baik di cetak maupun elektronik seperti Televisi.
Ketiga, untuk membujuk pemilih biasanya menggunakan praktek politik uang. Ini biasanya terjadi menjerang hari pencoblosan. Di mana para kandidat membagi-bagikan uang agar pemilih mau mencoblos dirinya. Budaya beli suara ini telah menjadi hal biasay, bahkan rakyatpun tunggu di beri uang alias di beri suara. Fenomena ini pada umumnya berlaku di kalangan masyarakat menengan kebawah atau masyarakat yang hidup di garis kemiskinan. Di mana uang sangat mereka butuhkan. Maka siapa yang mampu membagi-bagikan uang, maka suaranya akan jatuh ke tangannya. Sistem ini cukup berhasil. Untuk itu menjadi tanggungan besar bagi calon gubernur untuk mengumpulkan dana agar dapat membeli suara rakyat.
Dalam analisa penulis ada 2 Faktor penyebab lainnya yakni keempat, pemobilisasi massa, di mana di perlukan transportasi sehingga biaya transportasi cukup besar di perlukan. Mobilisasi massa dapat juga di lakukan dengan parade atau konvoi keliling kota. Kelima, biaya honor saksi di tiap TPS (tempat Pengumutan Suara). Di era sekarang setiap orang yang bekerja butuh di bayar. Bahkan tim suksesnya pun ada gajinya. Ini tentunya memerlukan biaya juga. Begitu banyak TPS dan anngota tim sukses menyebabkan perlu logistik yang dua kali besarnya agar bisa berjalan optimal.
Dana PILKADA
            Pemilihan kepala Daerah merupakan pesta besar bagi provinsi.  Sehingga penyelenggaraannya pasti membutuhkan dana yang besar, namun di balik itu, justru yang mengeluarkan dana paling besar adalah para kandidatnya. Disini uang mempunyai peranan sentral dalam merebut jabatan sebagai Gubernur dalam PILKADA.  Uang menjadi penentu siapa yang paling kuat. Dengan uang, kandidat akan lebih percaya diri dalam menarik massa. Menurut Herbert E. Alexander[3] tentang pengaruh uang dalam politik, uang adalah instrument atau alat yang memiliki arti penting untuk mengetahui bagaimana ia digunakan orang untuk mencoba mendapat pengaruh, atau di ubah menjadi sumberdaya-sumberdaya yang lain, di pergunakan secara berkombinasi dengan sumberdaya yang lain dalam  rangka meraih kekuasaan politik.  Lebih lanjut menurut Herbert E. Alexander, uang adalah sebuah keuntungan nyata dalam Politik.  Uang bisa memperkuat pengaruh politik bagi mereka yang memilikinya atau bagi mereka yang memiliki wewenang untuk mendistribusikannya.
Sumber-sumber Pendanaan PILKADA CAGUB
            Kalau berbicara dana dalam setiap kampanye CAGUB dari sejak pemilihan langsung Gubernur dari pasca reformasi tahun 1999- 2013, sungguh banyak peristiwa maupun fakta-fakta yang bertebaran tentang aroma uang yang mengalir. Namun, banyak ketidak jelasan sumber uang yang masuk dalam pendanaan para kandidat. Ada yang mengungkapkan secara terang-terangan, ada yang berusaha menutupi perihal jumlah dan sumber dana kampanyenya. Dalam tulisan ini penulis lebih menfokuskan pembahasan pada pilkada Gubernur di sejumlah provinsi yang baru-baru ini sudah berlangsung maupun yang akan berlangsung. Yakni di DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat,  sumatera utara, Kalimantan Barat dan Jawa Tengah.

PILKADA DKI JAKARTA TAHUN 2012
Nama pasangan calon
Jumlah pemasukan
SUMBER DANA
Joko Widodo-Basuki Tjahaja Purnama
Rp 27,5 M
-          Sumbangan partai politik, 
-          sumbangan perusahaan/badan usaha,
-          sumbangan pasangan calon,
-          sumbangan perseorangan.
Fauzi Bowo- Nachrowi Ramli
Rp 62,6 M
-          Dana pribadi,
-          sumbangan perseorangan,
-           sumbangan dari badan hukum[4]
Alex Noerdin-  Nono Sampono
Rp 24,6 M
-          Dana pribadi
-          Sumbangan partai politik
-          Sumbangan perseorangan
-          Sumbangan perusahaan/badan usaha
Hidayat Nur Wahid-Didik J Rachbini
Rp 21,5 M
-          Sumbangan kader partai[5]
-          Sumbangan partai politik
-          Sumbangan dari pasangan calon
-          Sumbangan dari PT/badan usaha/ jasa Bank
Faisal Basri-Biem Benyamin
Rp 4,1 M
-          Sumbangan dana dari pasangan calon
-          Sumbangan perseorangan
-          Sumbangan badan hokum swasta
Sumber : kompas.com/Rabu, 25 Juli 2012
Dapat di lihat bahwa, pasangan Fauzi Bowo- Nachrowi Ramli yang paling banyak mengeluarkan Dana kampanye di banding calon lainnya. Hal ini dapat di lihat dari iklan politiknya di sejumlah media massa atau Televisi swasta yang begitu intens di lakukan. Menurut pernyataan Tim Advokasi Hukum fauzi bowo Dasril Affandi kepada wartawan, persumbangan dana kampanye sebesar Rp33 miliar yang berasal dari kocek pribadi fauzi bowo dan Nachrowi juga sah secara hokum karena Pasangan calon tidak dibatasi untuk memberikan sumbangan pribadi untuk dana kampanye sendiri. Hal ini lah yang harus di evaluasi oleh penyelenggara PILKADA, mengenai pembatasan Dana kampanye. Mahalnya ongkos Pilkada akan memicu timbulnya korupsi.

PILKADA JAWA BARAT
Nama pasangan calon
Jumlah Pemasukan dana kampanye
Ket
Sumber Dana
Ahmad Heryawan-Deddy Mizwa
Rp 25-30 miliar
-          Dana pribadi
-          Sumbangan kader partai
 Rieke Diah Pitaloka -Teten Masduki
Rp. 1 Miliar lebih
-          Dana pribadi,
-          Sumbangan kader
-          Masyarakat umum
Dede Yusuf – Lex Laksamana
Diatas Rp. 1 Miliar lebih
merdeka.com
-          Dana pribadi
-          sumbangan

Biaya mahal yang di keluarkan oleh  calon Gubernur masih lebih fantastik jika di banding biaya Mahal yang di anggarkan untuk penyelenggaraan Pemilu kada di tingkat provinsi tahun 2013 yakni  Rp 1,4 Triliun[6]. biaya mahal beberapa kandidat juga di karenakan ongkos menarik simpatik masyarakat dengan melakukan kampanye terbuka dan tertutup dan juga iklan kampanye di media televisi yang memakan biaya cukup besar.   Ahmad Heryawan-Deddy Mizwar misalnya yang melakukan iklan kampanye dimedia televisi. Ini memakan biaya yang cukup besar. Terlebih lagi dengan mengundang sejumlah artis dan group band dalam memeriahkan kampanye. Baiaya pendukung untuk menyewa artis ibukota menjadi bagian dari dana kampanye. 
PILKADA SUMATERA UTARA
Nama pasangan calon
Jumlah dana kampanye yang di keluarkan
Sumber dana
Gatot Pujo Nugroho-Tengku Erry
Rp 20,167 miliar[7].
-    dana dari pasangan calon sebesar Rp 2 ,1 Miliaran,
-    sumber dana dari partai politik Rp 13, 9 M
-    sumber dana dari sumbangan perseorangan Rp 4 ,17 M

Gus Irawan Pasaribu-Soekirman
Rp 17,913 miliar -[8]
-       Rp 10 miliar berasal dari Gus Irawan sendiri, Soekirman menyumbang Rp 500 juta.
-        sumbangan dari badan hukum, antara lain berasal dari PT Junjung Drajat sebesar Rp 300 juta, dan dari PT Benezta Rp 325 juta.
Amri Tambunan dan RE Nainggolan
Rp5,230 miliar[9]
-          Amri Tambunan menyumbang sebesar Rp 900 juta, sementara RE Nainggolan memberikan dana sebesar Rp 1,6 miliar.
-          badan hukum yang menyumbang antara lain CV Mandiri Tetap Berkarya Rp 320 juta, dan PT Brastagi Cottage Rp 300 juta.
Effendi Simbolon-Jumiran Abdi
Rp4,996 miliar.[10]
-          sebanyak Rp 100 juta dana itu berasal dari pasangan calon, yakni Effendi Rp 50 juta dan Jumiran juga menyumbang Rp 50 juta.
-          sumbangan pribadi sebesar Rp 3,6 miliar, termasuk di antaranya Rp 50 juta dari Panda Nababan, Ketua PDI Perjuangan Sumut.

Pasangan Gatot Pujo Nugroho dan Tengku Erry Nuradi (Ganteng), menerima sumbangan dana kampanye sebesar Rp 20,2 miliar. Sumber dana pasangan ini terutama berasal dari sumbangan partai. Dewan Pimpinan Daerah (DPD) Partai Keadilan Sejahtera (PKS) di kabupaten dan kota menyumbang dengan dana yang lumayan. Misalnya DPD PKS Medan menyumbang Rp 850 juta, DPD PKS Labuhan Batu Rp 725 juta, PKS Labuhan Batu Selatan Rp 575 juta dan DPD PKS Samosir Rp 75 juta. Sedangkan Gatot pribadi menyumbang Rp 716 juta, dan Tengku Erry Rp 545 juta untuk kepentingan kampanye.


PILKADA KALIMANTAN BARAT
Nama Pasangan Calon
Jumlah dana Kampanye yang di keluarkan
Sumber dana
Cornelis-Cristiandy (CC)
Rp 9,519 M
Sumbangan PDI Perjuangan sebesar Rp7,47 miliar
Arafah
Rp 765 Juta
 terdiri dari pasangan calon Rp350 juta dan sumbangan perorangan Rp215 juta.
Morkes-Burhan (MB)
Rp 5,4 M
Sebesar Rp5,4 miliar semuanya berasal dari pasangan calon. 
Tambul-Barnabas
Rp 1,8 M
Penerimaannya Rp1,801 miliar berasal dari pasangan calon Rp1,651 miliar dan sumbangan perseorangan Rp150 juta.
Berdasarkan hasil audit dari Kantor Akuntan Publik (KAP) terhadap dana kampanye dari empat pasangan calon Gubernur dan Wakil Gubernur Kalbar, pasangan incumbent Cornelis-Christiandy Sanjaya (CC) menghabiskan dana kampanye terbanyak. Kemudian diikuti pasangan Morkes Effendi-Burhanuddin A Rasyid (MB). Urutan ketiga pasangan Abang Tambul Husein-Pdt Barnabas Simin (Berkibar). Sedangkan Jenderal Angkasa Armyn Alianyang-Fathan A Rasyid (Arafah), pasangan calon yang paling sedikit menghabiskan dana kampanye. Dan berdasarkan hasil akhir perolehan suara, pasangan yang mengeluarkan ongkos paling mahal yakni Cornelis-Christiandy Sanjaya memperoleh suara 52,13 persen.  Bahkan pasangan ini meraih suara terbanyak di 10 kabupaten/kota dari 14 kabupaten/kota[11].
PILKADA JAWA TENGAH
Pilgub Jateng akan digelar 26 Mei 2013 beredar isu bahwa Para calon gubernur setidaknya harus mampu menyediakan dana minimal Rp 100 miliar. Direktur Lembaga Pengkajian dan Survei Indonesia M. Yulianto menilai satu pasangan calon gubernur dan wakil gubernur yang akan maju dalam Pemilihan Kepala Daerah Jawa Tengah membutuhkan dana minimal Rp200 miliar. Hal ini di perinci dalam berbagai sumber yang berhasil penulis rangkum.

Kebutuhan seputar PILKADA Jawa Tengah :
Nama kebutuhan
Jumlah satuan
Total anggaran
Kaos  untuk 12 juta pemilih
10.000/satuan

Rp 120 M
Honor saksi di TPS di 60.000 TPS
100.000/orang
Rp 12 miliar- 25 Miliar
biaya kampanye di 35 kabupaten dan kota

Anggaran minimal Rp 50 miliar,
Sumber : kompas.com, www.antarajateng.com,kabarsore.com
Arus deras uang yang di keluarkan dalam Pilkada Gubernur menunjukan bahwa uang mempunyai kuasa dalam menentukan kemenangan. Sehingga dapat di lihat bahwa pada umumnya pasangan calon gubernur pasti menggandeng pengusaha untuk di jadikan wakil gubernur atau sebaliknya. Contoh saja, Joko widodo dan Basuki Tjahaja Purnama dimana Basuki adalah seorang pengusaha. Ahmad Heryawan-Deddy Mizwar, di mana Deddy Mizwar adalah seorang sutradara dan artis terkenal. Secara umum, sumber pendanaan di dapat dari donator, dana pribadi dan investasi pengusaha. Hal ini langsung masuk ke tim sukses kandidat, tidak di kelolah di partai, karena kandidat juga membayar partai politik, dana inilah yang akan di gunakan dalam PILKADA. berikut Hubungan uang dan proses biaya politik PILKADA :
Donatur
Investasi pengusaha
Bayar partai
Beli suara
Pengaturan dana kampanye ????
KAMPANYE
Honor saksi Di TPS
Calon Gubernur/Partai Politik
Dana Pribadi
 






Bagan di atas menunjukan bahwa dana yang masuk di kantong seroang gubernur begitu besar terlebih lagi dengan investasi pengusaha, di mana ada kontrak politik sehingga segala kebutuhan kampanye, honor saksi atau beli suara bisa di penuhi oleh sang insvestor.  Setelah dana di terima maka tim sukses akan bekerja menghabiskan uang yang telah di terima guna mencari massa sebanyak-banyaknya.  Semua itu di tanggung di bebankan kepada pasangan calon gubernur dan tim suksesnya. Sungguh memberatkan. Hasil akhir dari semua itu adalah apakah calon gubernur tersebut terpilih atau tidak. Jikalau terpilih maka ongkos yang telah di keluarkan akan memicu keinginan untuk balik modal, pertanyaanya, bagaimana caranya mengembalikan uangnya yang begitu besar, seperti yang telah di jelaskan di atas, bahkan toatal gaji selama 5 tahun pun belum tentu mencapai 60 M.
 Miliaran uang berputar dalam beberapa PILKADA yang telah penulis uraikan di atas menunjukan tidak adanya pengawasan ketat terjadi implementasi pengaturan dana kampanye. Tidak ada konsekwensi yang tegas jika kandidat melanggaran ketentuan tersebut.  Padahal sangat urgent memaknai pengaturan dana kampanye. Arti penting pengaturan dana kampanye sebagaimana penulis kutip dari ICW 2012 bahwa :
pertama pengaturan ini dapat dijadikan sebagai salah satu alat ukur untuk menilai apakah aspek akuntabilitas pendanaan di dalam kampanye Pemilu sudah berjalan secara transparan dan akuntabel dalam kontestasi pemilu kedepan.  Kedua, Selain itu, adanya pengaturan dana kampanye juga untuk menunjukan apakah Pemilu telah mampu menciptakan persaingan yang sehat (fairness) dan terbebas dari praktek transaksi-transaksi mencurigakan dalam pengumpulan pendanaan. Ketiga, pengaturan dan pelaksanaan dana kampanye yang transparan dan akuntabel merupakan prasyarat penting dalam membangun kualitas dan integritas proses pemilu yang diselenggarakan. Keempat, dalam konteks korupsi politik, persoalan dana kampanye menjadi alat konfirmasi apakah posisi-posisi baru yang dihasilkan oleh Pemilu berpotensi menciptakan mekanisme politik yang bersih atau sebaliknya, justru tersandera oleh praktek-praktek korupsi akibat kooptasi pemodal politik yang sangat dominan dalam pemilu .
                Lemahnya pengaturan dana kampanye ini dan ketidak tegasan sanksi yang di berikan menyebabkan miliaran uang berputar di PILKAD seperti sebuah pasar yang dapat melakukan apa saja untuk keuntungan politik.            
Biaya PILKADA GUBERNUR
            Wacana biaya mahal menjadi calon Gubernur bukanlah menjadi rahasia partai saja, tetapi telah menjadi rahasia umum. Bahkan nominalpun sering di sebutkan oleh partai dan di sebutkan dalam sistem paket. Sungguh fantastic, dimana calon gubernur sudah seperti barang dagangan yang siap di beli dalam ukuran paket. Sebagaimana yang penulis kutip dalam “talk show Mata Najwa” [12] di metro tv, mengungkapkan :
Sunatra, ketua tim Pemilukada DPD Partai Gerindra Jawa Barat, mengungkap besarnya biaya yang harus disiapkan sang calon untuk maju sebagai Gubernur Jawa Barat. Bahkan, Sunatra mengungkap adanya berbagai paket untuk sang calon. Yakni mulai paket ‘nekat’, paket ‘hemat’, hingga paket ‘timbel komplit”. Biaya paket yang dikeluarkan minimal Rp 8 - 16 M untuk paket hemat dan minimal untuk paket timbel komplit adalah Rp 430 M.
Satu contoh partai politik di atas sekilas telah memberikan kita pemahaman bahwa dari internal partai saja telah di patok biaya dalam mengusung pasangan calon. Ini sungguh tragis, dimana partai politik yang secara hakikinya sebagai berperan dan berfungsi untuk sosialisasi politik, memberikan pendidikan politik tapi justru mempraktikkan politik uang yang sungguh besar jumlahnya. Angka 430 Miliar sungguh tidak rasional. Bahkan jika di kalkulasi, jumlah total gaji dalam 5 tahun masa jabatan belum tentu mengembalikan semua dana yang di keluarkan pada masa kampanye. Contohnya penghasilan gubernur di Jawa Tengah selama lima tahun ternyata tidak sampai sebesar Rp 40 miliar. Kalau dihitung cermat, gaji, tunjangan dan insentif gubernur di Jateng per tahunnya hanya Rp 7,5 miliar atau Rp 627 juta per bulan[13].  
Dalam penulusuran kompas[14]  di ketahui Biaya survei pemilih tingkat provinsi berkisar Rp 100 juta-Rp 500 juta. Ongkos iklan politik calon gubernur melalui berbagai media massa berkisar Rp 1 miliar-Rp 5 miliar per bulannya. nBiaya pencitraan figur calon gubernur mencapai Rp 20 miliar. Untuk biaya konsultasi politik, seorang kandidat peserta pemilu gubernur bisa membayar hingga Rp 40 miliar. Walaupun biaya yang dikeluarkan sangat besar, kandidat itu bisa gagal dalam pilkada. Besarnya biaya konsultasi itu tidak menjadi jaminan kemenangan kandidat


Tidak ada komentar:

Posting Komentar